Senin, 30 Juni 2008

Sambung rasa Gubernur terpilih

Hari ini, senin 30 Juni 2008 mulai jam 09.00 WIB bertempat di Auditorium Moh Djazman Univ ersitas Muhammadiyah Surakarta akan diadakan sambung rasa dengan gubernur dan wakil gubernur terpilih Jawa tengah, yaitu Bp Bibit Waluyo dan Ibu Rustriningsih. Semoga berjalan lancar dan produktif, serta gubernur baru dapat lebih mensejahterakan warga jawa tengah. Selamat bersiap diri dan menjalankan tugas Pak Gub dan Bu Wagub. Semoga sukses.

Minggu, 29 Juni 2008

Rancang Pedoman UMS

Buku Pedoman Tahun 2008

è Dibuat Per Fakultas

è Bahan Utama Buku Pedoman Tahun 2007

è Revisi/perbaikan selesai 15 Juli 2008

è Proses layout dan cetak 16 – 31 Juli 2008

è 1 Agustus 2008 Buku Pedoman siap didistribusikan ke mahasiswa baru melalui Fakultas masing-masing.

è Materi Fakultas/Jurusan tentang Kurikulum, Silabus, dan RMP akan diupload di web UMS. (Kurikulum, silabus, dan RMP berdasarkan hasil final workshop RMP yang sudah disetujui WR I).

Tugas Mahasiswa S2

Para mahasiswa S2 Magister manajemen pendidikan UMS segera mengumpulkan tugas mata kuliah Aplikasi Komputer dan Internet Kelas Solo Reguler, sebelum tanggal 5 JUli 2008.

Jumat, 06 Juni 2008

Sertifikasi Guru Matematika

SERTIFIKASI GURU MATEMATIKA:

ANTARA MUTU KOMPETENSI DAN KESEJAHTERAAN[*]

Oleh Budi Murtiyasa

PENDAHULUAN

Kegiatan belajar mengajar boleh dikatakan setua dengan umur manusia di bumi. Sejak ada manusia, sejak itulah kegiatan belajar dan mengajar di mulai. Seiring dengan perjalanan waktu, dalam lingkup pendidikan formal atau non formal, peran sentral kegiatan belajar mengajar bertumpu pada guru. Pada perkembangan selanjutnya, guru telah menjadi satu profesi yang mensyaratkan kualifikasi tertentu. Di beberapa negara maju, guru telah menjadi profesi yang baik. Misalnya, di Amerika Serikat profesi guru menduduki ranking 4 dari 10 profesi terbaik di sana (Farr, 2008)

Pemerintah Indonesia beberapa tahun terakhir ini mulai menunjukkan perhatian yang lebih baik dengan memberikan anggaran pendidikan yang lebih banyak dari pada tahun-tahun sebelumnya. Secara politik, Undang-undang telah mengamanatkan untuk menaikkan anggaran pendidikan sampai 20% dari APBN, walaupun sampai saat ini jumlah tersebut belum dapat direalisasikan oleh Pemerintah. Keputusan politik lain untuk meningkatkan mutu guru, Pemerintah dan DPR telah membentuk UU Guru dan Dosen (UUGD) pada tahun 2005.

Salah satu point penting pada UUGD tersebut adalah adanya sertifikasi guru dan dosen sebagai upaya untuk meningkatkan mutu guru dan dosen sebagai upaya menuju pendidikan yang bermutu. Civil effect dari program sertifikasi adalah diberikannya tunjangan profesi bagi guru dan dosen yang telah bersertifikat.

Pelaksanaan sertifikasi bagi guru telah dimulai pada tahun 2007, sedangkan bagi dosen pelaksanaan sertifikasi baru akan dimulai pada tahun 2008 ini. Permasalahannya sekarang dapatkah program sertifikasi guru ini meningkatkan mutu guru ?, meningkatkan kompetensi guru ?, atau mungkin sekedar sarana untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemberian tunjangan profesi ?

SERTIFIKASI PROFESI GURU

Lahirnya UUGD tahun 2005 merupakan kebijakan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru melalui keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 (S1) atau Diploma 4 (D4), dan memiliki sertifikat profesi. Berdasarkan kepemilikan sertifikat profesi, guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 (satu) bulan gaji pokok. Kebijakan dalam UUGD pada intinya untuk meningkatkan mutu dan kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan.

Dalam UUGD disebutkan juga bahwa:

  • Pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran.
  • Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Kompetensi paedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat. Kompetensi professional adalah kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.

Pelaksanaan sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan: kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan social, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang tidak lulus penilaian portofolio dapat:

  • melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi portofolio agar mencapai nilai lulus, atau
  • mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi/penilaian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.

KOMPETENSI GURU MATEMATIKA

Keempat kompetensi yang dituntut dalam setifikasi guru, yaitu kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional, secara bersama-sama memang harus dimiliki seorang guru guna mendukung tugas profesinya. Tetapi pada bahasan ini akan difokuskan pada kompetensi paedagogik dan professional guru. Kedua kompetensi yang disebut terakhir ini secara langsung berhubungan dengan praktek pembelajaran di kelas, yang menunjukkan kemampuan guru dalam membantu para siswanya memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap mata pelajaran yang disampaikan.

Kompetensi paedagogik merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara substantif kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sedangkan kompetensi professional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru. Secara rinci masing-masing elemen kompetensi tersebut memiliki subkompetensi dan indikator, yaitu : (1) menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi. Subkompetensi ini memiliki indikator : (i) memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (ii) memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi ajar; (iii) memahami hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; dan (iv) menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari. (2) menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan / materi bidang studi.

Kompetensi paedagogik secara umum menuntut guru mampu mengelola pembelajaran bidang studi yang diampu. Pendekatan pembelajaran matematika yang tepat dapat mendorong para siswa mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang matematika sehingga dapat sukses dalam belajar matematika. Oleh karena itu, para guru matematika dalam pembelajarannya hendaknya memperhatikan aspek-aspek : (1) modeling mathematical thinking, (2) solving problems, (3) developing analytic ability and logic, (4) experiencing mathematics in depth, (5) appreciating the beauty and fascination of mathematics, (6) building confidence, (7) developing abstraction, (8) building contextually and interconnections, (9) communicating, dan (10) becoming fluent in mathematics.

Aspek-aspek tersebut tentu saja saling terkait satu sama lain. Misalnya, pengembangan abstraksi dimaksudkan bahwa pembelajaran matematika dapat dikembangkan dari situasi tertentu serta mengenali ide-ide matematika yang ada pada situasi tersebut. Termasuk dalam kemampuan abstraksi ini adalah kemampuan untuk membawa persoalan-persoalan yang ada ke dalam model-model matematika. Di samping itu, kemampuan tentang problem solving, demontrasi, dan juga menunjukkan (mencari) bukti-bukti juga termasuk dalam kawasan abstraksi. Pembelajaran matematika akan mampu memenuhi aspek-aspek tersebut jika pembelajaran matematika mengarah pada kegiatan-kegiatan problem solving atau pemecahan masalah. Para guru matematika harus dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bagus selama proses belajar mengajar, sebagai bagian dari pengembangan materi pelajaran matematika, yang dapat merangsang siswa untuk berpikir dan berlatih memecahkan masalah. Pada hakekatnya matematika adalah metode berpikir, metode untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru kepada para siswanya (yang juga bagian dari assessment) hendaknya bersifat terbuka dan mengarah ke investigasi serta pertanyaan itu harus bersifat divergen. Pertanyaan tidak simple, lebih dari satu jawaban yang bisa diterima, dan merangsang siswa untuk belajar dengan kerjasama.

Aspek-aspek dalam pembelajaran matematika tersebut di atas sangat diperlukan untuk mencapai kecakapan atau kemahiran yang diharapkan dapat diperoleh dalam belajar matematika sebagaimana dituntut dalam kurikulum 2004, yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); (2) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); (3) belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); (4) belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan (5) pembentukan sifat positif terhadap matematika (positive attitudes towards mathematics). Kelima hal tersebut dikenal dengan daya matematika (mathematical power).

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), para guru matematika juga diharapkan mampu memanfaatkan TIK untuk mengelola dan meningkatkan kualitas pembelajarannya (Murtiyasa, 2006). Di samping itu, UNESCO juga telah menetapkan standar bagi guru untuk dapat menggunakan TIK bagi keperluan pembelajarannya. Oleh karena itu, TIK bagi guru adalah alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan relevansi. Dalam konteks ini TIK dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran, pengembangan profesional guru, dan pengembangan sistem pengelolaan belajar dan sumber belajar (Brojonegoro, 2006).

Di sisi lain, supaya guru matematika dapat mengelola pembelajaran yang baik, para guru matematika juga harus menguasai materi bidang studi sebagaimana dituntut kurikulum. Penguasaan materi ini akan mencerminkan kompetensi professional guru matematika. Memperhatikan kurikulum matematika sekolah, guru matematika dituntut menguasai konsep / materi matematika di antaranya tentang : (1) variabel, persamaan, dan pernyataan-pernyataan aljabar, (2) bentuk-bentuk fungsi dan grafiknya, (3) geometri, (4) probabilitas, (5) statistik dan analisis data, (6) barisan dan deret, (7) teori bilangan, (8) matriks dan verktor, (9) irisan kerucut, (10) kalkulus, (11) matematika diskrit, (12) geometri non-euclid, dan (13) argumentasi dan bukti.

Supaya mendapatkan penguasaan materi yang baik, beberapa materi yang disampaikan tersebut masih memerlukan prasyarat. Misalnya, sebagaimana direkomendasikan oleh the Mathematical Association of America (MAA) dan the National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), dalam penguasaan kalkulus disyaratkan menguasai materi tentang aljabar, geometri, trigonometri, geometri analitik (http://www.universityofcalifornia.edu/). Secara umum, supaya dapat menguasai materi matematika dengan baik, seorang guru matematika hendaknya memiliki beberapa ”ketrampilan dasar” matematika, di antaranya (1) menguasai aritmatika, bilangan bertanda, pecahan, dan prosen, (2) menyederhanakan bentuk-bentuk aljabar, (3) menggunakan sifat distributif pada binomial/polinomial, (4) pemfaktoran bentuk-bentuk aljabar, (5) menyelesaikan sistem persamaan linear, (6) menyelesaikan persamaan kuadrat, (7) menggunakan hukum-hukum eksponen, (8) menggambar titik, garis, dan grafik fungsi, (9) menghitung luas daerah, dan sebagainya.


WAHANA PENINGKATAN MUTU DAN KOMPETENSI

Suatu profesi tentu menuntut mutu dan kompetensi. Demikian juga profesi guru, yang memegang peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan. Di Amerika Serikat misalnya, untuk menjadi guru mensyaratkan harus berkualifikasi S1, S2 atau bahkan S3. Di samping itu, guru harus dapat menyiapkan materi pelajaran, rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, memberikan tugas-tugas, mengevaluasi dan memonitor siswa. Guru juga harus familiar dengan berbagai konsep dan prosedur yang berhubungan dengan bidang studinya. Pada akhirnya guru juga perlu di sertifikasi (http://money.cnn.com/). Di tingkat negara bagian Amerika Serikat terdapat badan independen yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Badan indepeden ini yang melaksanakan sertifikasi dan berwenang menilai serta menentukan apakah ijazah yang dimiliki oleh calon pendidik layak atau tidak layak untuk diberikan lisensi pendidik.

Mengamati prosedur sertifikasi guru yang ada di Indonesia, beberapa hal perlu dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan dapat meningkatkan mutu dan kompetensi guru. Berdasarkan prosedur pelaksanaan sertifikasi, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi apakah sertifikasi mampu meningkatkan mutu dan kompetensi guru. Beberapa faktor tersebut dapat disebutkan di antaranya adalah manusia, lembaga, dan instrumen sertifikasi.

Faktor pertama, manusia, yang meliputi guru, atasan guru (kepala sekolah), dan sertifikator, sangat berperan penting dalam sertifikasi. Pertama, kepada guru dituntut ada kesadaran penuh bahwa sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa yang dilakukan adalah untuk mencapai mutu dan mendukung peningkatan kompetensi. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah tersebut bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru (Djalal, 2008). Demikian halnya harus muncul kesadaran bahwa tunjangan profesi (kesejahteraan) yang akan diterima hanyalah sebagai akibat logis dari dimilikinya kompetensi sebagai guru. Kedua, kepada guru, atasan guru, dan sertifikator dituntut kejujuran. Guru hanya melaporkan melalui portofolio hal-hal yang memang sesuai dengan kondisi guru yang sesuai dengan keempat kompetensi. Kepala sekolah, selaku atasan guru, hanya mengesahkan bukti-bukti fisik dari portofolio yang memang merupakan hasil aktivitas guru. Sedangkan sertifikator dituntut melakukan penilaian portofolio dengan benar sesuai pedoman yang berlaku.

Faktor kedua, lembaga penyelenggara sertifikasi dituntut bekerja sesuai aturan main yang ada. Lembaga penyelenggara harus dapat mencegah usaha-usaha berbagai fihak yang mau melakukan penyimpangan sertifikasi, misalnya usaha guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, atau mencabut sertifikat bagi guru yang terbukti melakukan penyimpangan dalam sertifikasi.

Faktor ketiga, instrumen sertifikasi yang menilai melalui portofolio dengan jalan melaporkan pengalaman guru selama bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa kejujuran guru sangat diperlukan. Dengan model instrumen semacam ini yang sudah pasti terungkap adalah mutu atau kualifikasi guru, khususnya kualifikasi dalam pendidikan. Dengan sertifikasi jelas bahwa kualifikasi guru dituntut sarjana atau berijazah S-1. Tetapi di sisi kompetensi masih perlu dipertanyakan, khususnya kompetensi paedogogik dan kompetensi profesional.

Dalam batas-batas tertentu dimungkinkan instrumen yang ada sekarang mampu mengetahui kompetensi guru. Misalnya guru matematika yang dapat menyusun buku pelajaran matematika yang beredar dan dipakai secara nasional, hal ini dapat mencerminkan kompetensi profesional dari guru tersebut. Tetapi dalam banyak kasus sangat sulit untuk mengetahui kompetensi dengan hanya melalui portofolio. Oleh karena itu, prosedur pelaksanaan sertifikasi perlu perbaikan-perbaikan. Keempat kompetensi guru tersebut tentu akan lebih terukur jika dilakukan uji kompetensi, baik melalui ujian tulis, lisan, maupun praktek. Tentu saja supaya fair, sebelum diadakan uji kompetensi perlu para guru yang akan disertifikasi diberikan program pendidikan atau pelatihan dalam jangka waktu tertentu. Dengan cara ini para guru akan mendapatkan ilmu-ilmu baru, baik dalam bidang paedagogik maupun bidang studinya.

Sebagai contoh para guru matematika yang lulus tahun 1980-an, secara teori dengan masa kerja yang banyak akan mendapatkan kesempatan lebih dulu untuk disertifikasi. Dalam kurun waktu sekitar 20 tahun, tentu banyak ilmu pengetahun dan teknologi baru yang tidak mereka kuasai. Dengan program pendidikan dan latihan terlebih dahulu, para guru dapat diberi bekal ilmu-ilmu baru, seperti misalnya matematika komputasi, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pemanfaatan TIK dalam pembelajaran, dan sebagainya. Kemudian setelah mengikuti program pendidikan dan latihan para guru dapat diuji secara tertulis, lisan, maupun praktek pembelajaran secara langsung. Dengan prosedur semacam ini, sertifikasi diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru.

Langkah berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah pembatasan usia sertifikat profesi guru. Bagi guru yang dinyatakan lulus uji sertifikasi dan selanjutnya diberi sertifikat, perlu dibatasi masa berlakunya, misalnya 3 tahun atau 5 tahun. Sebab dalam kurun waktu tersebut banyak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Dengan kewajiban memperbaharui sertifikat profesi, para guru akan selalu menjaga kompetensinya dengan mengikuti berbagai kegiatan yang sesuai untuk meningkatkan kompetensi yang dimilikinya.

Untuk meningkatkan akuntabilitas dan independensi, pelaksanaan sertifikasi seyogyanya melibatkan organisasi profesi. Sebab, sebagai profesi tentu profesi guru juga terikat oleh kode etik profesi yang dibuat oleh organisasi profesinya. Di sisi lain, suatu organisasi profesi yang baik tentu harus dapat mengatur dan membina anggotanya. Dengan cara ini di samping menciptakan kolaborasi antara lembaga penyelenggara dengan organisasi profesi dalam sertifikasi, juga ada upaya pembinaan terhadap organisasi profesi itu sendiri. Jadi untuk mensertifikasi guru-guru matematika, sudah sewajarnya organisasi profesi seperti Himpunan Matematika Indonesia (Indonesian Mathematical Society – IndoMS) atau Asosiasi Guru Matematika (AGM) dapat dilibatkan, baik dalam penyusunan instrumen, pendidikan dan latihan, maupun uji kompetensi.

PENUTUP

Guru sebagai profesi menuntut kualifikasi dan kompetensi tertentu. Oleh karena itu, sertifikasi merupakan sarana untuk mengetahui mutu dan kompetensi guru. Prosedur pelaksanaan sertifikasi yang ada sekarang memerlukan kejujuran dan komitmen yang tinggi dara semua pihak terkait. Sertifikasi mampu mengetahui kualifikasi guru. Dalam batas-batas tertentu, sertifikasi juga mampu mengetahui kompetensi guru. Tetapi dalam banyak hal, instrumen sertifikasi yang ada sekarang tidak mampu meningkatkan kompetensi guru, khususnya kompetensi paedagogik dan kompetensi profesional.

Pelaksanaan sertifikasi pada masa yang akan datang perlu adanya perbaikan-perbaikan. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan, perbaikan dimaksud di antaranya adalah adanya tindakan langsung suatu program untuk memberikan atau meningkatkan kompetensi dari guru. Misalnya, sebelum ada sertifikasi sebaiknya guru dibekali dengan ilmu yang mendukung kompetensi guru. Sesudah itu, ada uji kompetensi, baik secara lisan, tertulis, atau pun praktek. Prosedur lain yang juga perlu ditambahkan adalah pembatasan/perpanjangan masa berlaku sertifikat profesi, serta melibatkan organisasi profesi dalam pelaksanaan sertifikasi. Dengan cara ini para guru akan senantiasa menjaga dan meningkatkan kompetensinya. Dengan demikian, upaya meningkatkan mutu dan kompetensi guru, yang harapannya bermuara pada upaya peningkatan mutu pendidikan dapat terealisasi, dan sebagai civil efect -nya para dapat meningkat kesejahteraannya.

REFERENSI

Brodjonegoro, S.S., 2006, “Application of Regional Standards and Training Curriculum in the Context of Indonesia” paper in Training Programme for Teacher Educators on ICT – Pedagogy Integration”, organized by UNESCO in Collaboration with APEID, SEAMO, SEAMOLEC, Jakarta, 6 – 10 March.

Djalal, F., 2008, Sertifikasi Guru untuk Mewujudkan pendidikan yang Bermutu ?, online : htttp://www.sertifikasiguru.org, tanggal 3 Januari 2008.

Farr, M., 2008, Best Jobs for the 21st Century, online : http://community.elearners.com/, 23 Februari 2008.

Kurikulum 2004 Standard Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMA/MA, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Murtiyassa, B., 2006, ”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika” dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Pendidikan Matematika tanggal 19 September, Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

http://www.universityofcalifornia.edu/, 23 Februari 2008.

http://money.cnn.com/ , 23 Februari 2008

[*] Makalah disampaikan pada Olympiade & Seminar Matematika 2008 tanggal 11 Maret 2008 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kamis, 05 Juni 2008

Kerjasama PT

PENGUATAN KERJASAMA :

MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI

Oleh Budi Murtiyasa

Pengantar

Di beberapa media cetak, akhir-akhir ini mulai banyak dijumpai iklan penerimaan mahasiswa baru dari suatu Perguruan Tinggi (PT). Yang menarik dari iklan tersebut kalau dicermati adanya tawaran untuk memasuki Jurusan atau Program Studi dari PT karena mempunyai keunggulan atau kelebihan. Misalnya, Jurusan dari PT tersebut telah berkerjasama dengan sebuah PT di Luar Negeri, sehingga dimungkinkan mahasiswa mendapatkan dua buah gelar dalam satu paket kuliah. Atau dari kerjasama tersebut dimungkinkan mahasiswa PT tersebut dapat melanjutkan ke PT di Luar Negeri tanpa seleksi, dan sebagainya. Di samping itu, juga ada PT yang menonjolkan kerjasamanya dengan dunia usaha/industri, sehingga diharapkan para lulusannya memiliki ketrampilan tertentu sebelum akhirnya dapat dengan mudah terserap di pasar kerja.

Mengapa perlu Kerjasama ?

Dari pengantar tersebut di atas ada satu kata kunci, yaitu kerjasama. Pertanyaannya adalah mengapa suatu PT memerlukan kerjasama. Tentu jawaban atau alasan yang diberikan satu PT dengan PT yang lain bisa berbeda. Oleh karena itu, bentuk kerjasama yang akan dipilih pun tentunya akan berbeda. Terlepas dari itu semua, pada akhirnya Perguruan tinggi dengan tugas utamanya tridharma, yaitu Pendidikan/Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat perlu terus meningkatkan mutu dan relevansi program-programnya. Kerjasama dengan perguruan tinggi yang lebih maju IPTEKSnya, mutu programnya, mutu sumberdaya manusianya, kecanggihan sarana dan prasarananya, diharapkan dapat mempercepat kemampuan suatu perguruan tinggi.

Dengan menyelenggarakan kerjasama, PT dapat meningkatkan mutu program pendidikannya, baik pada jenjang diploma, sarjana maupun pascasarjana. Di samping itu penelitian yang merupakan salat satu output (keluaran) PT diharapkan dapat meningkat kualitasnya. Manfaat lain yang dapat diambil dari kerjasama adalah dapat meningkatkan jumlah dosen untuk studi S2 dan S3, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Terselenggaranya jaringan kerjasama akan meningkatkan mutu dan relevansi program pendidikan, penelitian, pelayanan masyarakat serta gerakan/pertukaran budaya. Di samping itu, kerjasama juga mendorong terbentuknya program kembaran akademik (twinning program) dalam kesetaraan. Manfaat lain adalah diperolehnya pengakuan kesetaraan mata kuliah dan lulusan satu PT dengan mata kuliah dan lulusan dari Universitas mitra.

Kerjasama diperlukan biasanya juga untuk memenuhi kecukupan sumberdaya atau sharing sumberdaya yang dimiliki kedua lembaga. Sharing sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya manusia atau sumberdaya fisik. Sumberdaya manusia dapat berupa tenaga pengajar/dosen, peneliti, pustakawan, atau tenaga ahli. Sedangkan sumberdaya fisik dapat berupa sharing prasarana maupun sarana untuk mendukung keberlangsungan pelaksanaan tridharma PT. Dengan cara ini PT yang bekerjasama dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan kegiatan tridharma PT.

Strategi Pengembangan dan Bentuk Kerjasama

Bagaimana memulai kerjasama ?. Menurut pengamatan, kerjasama yang terjadi antar dua lembaga umumnya tidak berlangsung secara instan. Biasanya suatu kerjasama diawali dengan hubungan (kerjasama) individual antar personal yang ada di dua lembaga. Kemudian dengan melihat bahwa akan banyak manfaat yang diperolah jika kerjasama dilakukan antar lembaga, maka biasanya hubungan yang bersifat individual ini ditingkatkan menjadi hubungan institusional (kelembagaan), yang diformalkan dalam bentuk perjanjian kerjasama.

Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap sivitas akademika untuk selalu siap menjadi agen kerjasama (dan tentu juga agen perubahan) bagi PT di mana ia berada. Dengan demikian, setiap sivitas akademika dapat menerapkan strategi dasar untuk dikembangkan dalam membangun kerjasama, di antaranya adalah (1) belajar filosofi pendidikan dari sistem universitas yang telah maju (tingkat dunia), (2) pengerahan dan konsolidasi sumber daya untuk perubahan menuju universitas tingkat dunia, (3) proaktif menarik pengalaman akademik dan administrasi universitas terkenal tingkat dunia, dan (4) meningkatkan kegiatan-kegiatan yang mendorong terciptanya atmosfir akademik internasional.

Kerjasama antara PT dengan lembaga lain dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu (a) kerjasama akademik, dan (b) kerjasama non-akademik. Kerjasama akademik meliputi bidang (1) pendidikan/studi lanjut bagi para staf, (2) penelitian, (3) double degree, dan (4) kelas internasional. Kerjasama non-akademik meliputi bidang-bidang (1) non degree training dan sertifikasi, (2) penelitian dengan dunia industri dan masyarakat, (3) praktek kerja lapangan, (4) seminar dan pelatihan, (5) perekrutan tenaga kerja, (6) pengadaan infrastruktur pendidikan.

Memperhatikan tujuan dan bentuk kerjasama, PT dapat menjalin kerjasama dengan (1) PT lain, (2) Lembaga Pemerintah/swasta, (3) Dunia industri, (4) Lembaga penelitian. Kerjasama dengan PT atau Universitas lain dapat dilakukan dalam bidang pendidikan, penelitian, double degree, kelas internasional, twinning program, transfer kredit, pengakuan lulusan, dan sharing sumberdaya. Kerjasama dengan lembaga pemerintah/swasta termasuk yayasan dapat dilakukan misalnya dalam bidang pendidikan dan penelitian. Kerjasama dengan dunia industri/usaha dapat dilakukan dalam bidang pelatihan (training), magang, praktek lapangan, sertifikasi, atau pengadaan infrastruktur pendidikan.

Penutup

Kerjasama dapat dilaksanakan jika menguntungkan bagi kedua belah pihak, adanya komitmen dari kedua pihak dan saling percaya mempercayai. Konsultasi selalu dilakukan dalam menghadapi keberhasilan maupun kegagalan. Dengan demikian kerjasama harus memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, equity, simplicity, negosiasi dan kompromi, serta mempertimbangkan hubungan jangka panjang.

TIK dan Pesantren

PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK MENINGKATKAN FUNGSI DAKWAH DAN PENDIDIKAN

DI PESANTREN

Oleh Budi Murtiyasa

Abstrak

Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi telah mendorong terjadinya banyak perubahan, termasuk dalam bidang pendidikan yang melahirkan konsep e-learning. Dengan e-learning, pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. Teknologi informasi dan Komunikasi juga sangat memungkinkan dimanfaatkan di pesantren sehingga menghasilkan konsep e-pesantren. E-pesantren memberikan para santri, ustadz, dan pengelola pesantren untuk mengambil banyak manfaat, di antaranya fleksibilitas program pendidikan, dakwah syiar islam, dan bahan kajian yang dapat dibuat lebih menarik dan berkesan. Integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan di pesantren meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren dan kemudahan dakwah. Dampak ikutan dengan integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan adalah mendorong percepatan computer literacy pada masyarakat Indonesia.


Kata Kunci : e-
pesantren, e-learning.

A. Pendahuluan

Kemajauan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mendorong manusia untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pada setiap kegiatannya. Bidang-bidang seperti e-commerce, e-banking, e-government misalnya, telah banyak memanfaatkan kemajuan TIK dalam aktivitasnya. Memasuki abad XXI ini, banyak institusi pendidikan, khususnya di luar negeri, berusaha meningkatkan kualitas pembelajarannya dengan memanfaatkan kemajuan TIK melalui program e-learning. Bahkan di Malaysia, program e-learning ini mendapat dukungan penuh dari pemerintahnya melalui program Agenda Information Technology National yang dilancarkan oleh National Information Technology Council (NITC). Untuk membawa Malaysia siap bersaing di era global abad XXI ini, NITC melancarkan lima agenda, yaitu bidang e-community, e-public services, e-learning, e-economy, dan e-sovereignity (Koran, 2003). Sedangkan di Singapura, yang mempunyai basis TIK lebih baik telah melangkah lebih maju menuju era e-government dengan visinya to be a leading e-Government to better serve the nation in the digital economy (Djunaedi, 2003).

Walaupun infrastruktur TIK di Indonesia masih kalah dari beberapa Negara di luar negeri, sebaiknya para insan yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan, termasuk para tenaga pengajar/ustadz dan pengelola pesantren, harus mulai berpikir dan bertindak untuk memajukan dan meningkatkan fungsi dakwah dan pendidikan dengan memanfaatkan kemajuan TIK. Jika tidak segera bertindak, dimungkinkan pesantren di Indonesia dan komunitas di dalamnya, menjadi komunitas yang gagap teknologi dan lekat menyandang julukan tradisional. Berdasarkan hal tersebut, dalam paper ini akan dibahas secara umum tentang TIK dan Pembelajaran, pemanfaatan TIK di Pesantren, dan persiapan-persiapan yang perlu dilakukan pesantren dalam pemanfaatan TIK tersebut.

B. TIK dan Pembelajaran

Kekuatan TIK (power of ICT) telah mendorong para insan pendidikan untuk memanfaatkannya dalam bidang pendidikan. Kekuatan TIK telah mendorong terjadinya perubahan dalam kurikulum, yang meliputi perubahan tujuan dan isi, aktivitas belajar, latihan dan penilaian, hasil akhir belajar, serta nilai tambah yang positip (Yuk, 2006). Oleh karena itu, saat ini muncul istilah-istilah seperti e-teacher, e-test, e-library, e-assignment, e-education, virtual school, virtual university, e-learning, dan sebagainya. e-learning adalah pembelajaran yang menggunakan TIK untuk mentransformasikan proses pembelajaran antara pendidik dan peserta didik. Tujuan utama penggunaan teknologi ini adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas pembelajaran. TIK yang digunakan untuk menyampaikan materi pembelajaran dalam e-learning ini dapat berupa komputer, LAN (local area network), WAN (wide area network), internet, intranet, satelit, TV, CD ROM, dan sebagainya. Bahan pembelajaran yang bercirikan multimedia, mempunyai teks, grafik, animasi, simulasi, audio, video. Hal ini merupakan kelebihan yang dimiliki media berbasis komputer. Di samping itu, suatu e-learning juga harus mempunyai kemudahan bantuan profesional isi pelajaran secara on line.

Dari uraian tersebut jelas bahwa e-learning menggunakan TIK sebagai alat; dengan tujuan meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan kenyamanan belajar; dengan obyeknya adalah layanan pembelajaran yang lebih baik, menarik, interaktif, dan atraktif. Hasil akhir yang diharapkan adalah peningkatan prestasi dan kecakapan akademik peserta didik serta pengurangan biaya, waktu, dan tenaga untuk proses pembelajaran.

E-learning termasuk model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dengan e-learning, siswa dituntut mandiri dan bertanggung jawab terhadap proses pembelajarannya, sebab ia dapat belajar di mana saja, kapan saja, yang penting tersedia alatnya. E-learning menuntut keaktifan siswa. Melalui e-learning, siswa dapat mencari dan mengambil informasi/materi pembelajaran berdasarkan silabus/kriteria yang telah ditetapkan guru / pengelola pendidikan. Siswa akan memiliki kekayaan informasi, sebab ia dapat mengakses informasi dari mana saja yang berhubungan dengan materi pembelajarannya. Siswa juga dapat berdiskusi secara on line dengan pakar-pakar pada bidangnya, misalnya melalui e-mail atau chatting. Dengan demikian jelas bahwa keaktifan siswa dalam e-learning sangat menentukan hasil belajar yang mereka peroleh. Semakin ia aktif, semakin banyak pengetahuan atau kecakapan yang akan diperoleh. Tabel 1 menunjukkan trend baru model pembelajaran dengan memanfaatkan kemajuan TIK yang akan segera bergeser dari model e-learning ke model mobile learning (m-learning).

Tabel 1. Trend Belajar

Generasi ke-5

Generasi ke-6

e-learning Model

m-learning Model

Web-based course

Web-based course

Integrated multimedia

Integrated multimedia

Computer mediated communication

Mobile/handphone mediated communication

Computer intelligent system

Computer intelligent system

E-learning juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat belajar secara ‘bebas’ tanpa merasa ‘tertekan’. Bebas dalam artian ia dapat mencari bahan-bahan atau materi pembelajaran. Ia juga bebas dari perasaan malu, yang biasanya terjadi pada kelas tradisional, jika ia merasa lambat, tidak bisa menjawab pertanyaan guru, atau gagal dalam belajarnya. Mereka dapat bebas bertanya dan berdiskusi dengan pakar yang ada di bidangnya atau melalui program bantuan profesional (help) secara on line yang didesain pada materi pembelajaran e-learning. Ia juga bebas mengulang-ulang materi pembelajaran pada topik tertentu sampai ia memperoleh pemahaman yang lebih baik. Sementara itu, bagi siswa yang ‘cepat’ dalam belajarnya, ia dapat saja mempelajari topik lain, tanpa harus menunggu siswa yang ‘lambat’ dalam belajarnya. Dengan sistem semacam ini diharapkan bahwa hasil akhir proses belajar dengan e-learning akan lebih baik, sebab tuntutan belajar tuntas (mastery learning) dapat dipenuhi. Siswa juga bebas mengakses bahan pembelajaran e-learning dari mana saja ia suka.

Bahan pembelajaran e-learning yang dirancang dengan baik dan profesional akan memperhatikan dan menggunakan ciri-ciri multimedia. Artinya, bahan pembelajaran tersebut di samping memuat teks, juga memuat gambar, grafik, animasi, simulasi, audio, dan video. Pemilihan warna yang baik dan tepat juga akan meningkatkan penampilan di layar monitor. Hal ini menjadikan bahan pembelajaran e-learning menjadi lebih menarik, berkesan, interaktif dan atraktif. Dari keadaan semacam ini memungkinkan siswa selalu ingat tentang apa yang dipelajari.

E-learning juga dapat didesain untuk dapat menyimpan catatan prestasi siswa yang sangat bermanfaat bagi proses umpan balik (feed back). Catatan prestasi ini dapat digunakan untuk pengukuhan (reinforcement). Di samping itu, e-learning juga dapat didesain untuk memeriksa dan memberi skor secara otomatis terhadap hasil evaluasi belajar, sehingga unsur-unsur transparansi dan akuntabilitas dipenuhi dalam proses ini. Berdasarkan hasil evaluasi ini, siswa secara otomatis dapat disarankan untuk melakukan kegiatan belajar tertentu (Pribadi dan Rosita, 2003).

C. TIK dan Pesantren

Kemajuan TIK telah mendorong orang-orang kreatif untuk merealisasikan dan memajukan gagasan atau ide secara efektif dan efisien. Pada saat ini beberapa kelompok anak muda, yang (mungkin) tidak mempunyai pesantren nyata, telah berupaya membangun pesantren elektronik (e-pesantren), seperti pesantren indigo dan pesantren virtual. Ide dasar dari pesantren virtual adalah upaya membangun dan menumbuhkembangkan ide Islam dengan segala wacananya. Lahirnya Pesantren Virtual merupakan jawaban akan perlunya pengembangan sistem pendidikan pesantren di era digital dan informasi. Pesantren Virtual juga merupakan bukti bahwa sistem pesantren juga bisa ikut meramaikan era informasi dengan warna dan misi yang tidak berubah dari pondok pesantren (konvensional) yang ada.

Dalam e-pesantren, seperti pada situs http://pesantrenvirtual.com/, terdapat juga program-program seperti dalam pesantren konvensional. Menu-menu seperti Konsultasi Ustadz, Dzikir dan Doa, Hikmah, Konsultasi, Tanya Jawab, Fiqih, dan kajian-kajian lainnya. Ini menunjukkan bahwa dengan TIK media dakwah atau syiar Islam dari para ustadz dan santri bisa bertambah. Setiap saat mereka akan berdakwah, tidak akan menemui masalah karena medianya semakin mudah. Memperhatikan karakteristik e-pesantren tersebut, jelas bahwa model ini sangat bermanfaat, baik bagi santri maupun tenaga pengajar (ustadz), bahkan juga bagi para pengelola pesantren. E-pesantren memungkinkan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh semakin mudah dan terbuka.

Bagi santri jelas bahwa e-pesantren ini akan melatih dan meningkatkan kemandirian santri. Di samping itu, juga memberikan kemudahan bagi santri untuk mengakses materi belajar dari mana pun berada. Oleh karenanya, para santri dapat menghemat biaya dan waktu untuk tranportasi dari dan ke pondok pesantren. Tetapi yang jelas, keuntungan yang terpenting adalah bahwa para santri dapat belajar sesuai dengan kemampuannya tanpa perlu rasa minder atau malu dengan teman-teman lainnya, yang barang kali lebih cepat dan pandai dalam belajarnya. Berikut ini adalah beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bagi santri dengan adanya model e-pesantren :

  1. Membangun interaksi ketika santri melakukan diskusi secara on line.
  2. Mengakomodasi perbedaan santri.
  3. Santri dapat mengulang materi belajar yang sulit berkali-kali, sampai pemahaman diperoleh.
  4. Kemudahan akses, kapan saja dan di mana saja.
  5. Santri dapat belajar dalam suasana yang ‘bebas tanpa tekanan’, tidak malu untuk bertanya (secara on line).
  6. Mereduksi waktu dan biaya perjalanan.
  7. Mendorong santri untuk menelusuri informasi ke situs-situs pada world wide web.
  8. Memungkinkan santri memilih target dan materi yang sesuai pada web.
  9. Mengembangkan kemampuan teknis dalam menggunakan internet.
  10. Mendorong santri untuk bertanggung jawab terhadap belajarnya dan membangun self-knowledge dan self-confidence.

Sedangkan bagi para ustadz, e-pesantren juga memberikan banyak manfaat. Di antaranya yang terpenting adalah bahwa ia selalu dapat memberikan materi dan masalah-masalah yang up-to-date untuk dikaji kepada para santrinya. Keuntungan yang lain adalah :

1. kemudahan akses kapan saja dan di mana saja

2. mereduksi biaya perjalanan dan akomodasi pada program pelatihan.

3. mendorong para ustadz mengakses sumber-sumber kajian yang up-to-date.

4. memungkinkan para ustadz mengkomunikasikan gagasan-gagasannya dalam cakupan wilayah yang lebih luas.

Bagi pengelola pesantren, e-pesantren juga mempunyai manfaat yang sangat luas, di antaranya adalah meningkatkan prestise dan akuntabilitas lembaga. E-pesantren memungkinkan menciptakan sistem distance education dan virtual school/boarding. Dengan sistem ini jelas bahwa pengelola pesantren tidak lagi perlu direpotkan dengan pengadaan ruang-ruang belajar dan sarana lainnya seperti dalam pesantren tradisional. Ini berarti e-pesantren akan menghemat biaya pengadaan prasarana untuk pembelajaran dan biaya operasional pemeliharaan peralatan dan gedung.

Di sisi lain pesantren (konvensional) dalam sejarahnya selalu menimbulkan kekaguman dan kebanggaan atas segala perjuangannya sebagai institusi pendidikan. Pesantren (konvensional) yang pada awalnya hanya menyelenggarakan pendidikan non-formal (pendidikan Islam), sekarang sudah hampir semuanya juga menyelenggarakan pendidikan formal. Fenomena ini menunjukkan bahwa pesantren mampu melakukan adaptasi dan reposisi fungsi pendidikan masyarakat sesuai dengan kemajuan jaman dan kebutuhan masyarakat.

Pesantren pada hakekatnya adalah komunitas pembelajaran. Suatu komunitas tentu bukan sekedar kumpulan santri di ruangan kelas. Suatu komunitas akan melahirkan interaksi, baik formal maupun informal, sehingga menumbuhkan dialog, pertukaran ide atau pemikiran atas berbagai topik kajian. Interaksi di antara komunitas pesantren tersebut akan melahirkan pengetahuan baru, melalui pertukaran pemikiran. Di pesantren ada narasumber, yaitu para kyai dan ustadz, dan rujukan yaitu kitab-kitab fiqih, hadist, kuning, dan sebagainya. Di sana juga terdapat media interaksi formal maupun informal, seperti misalnya dikenal metode interkasi sorogan (individual) atau bandongan (kelompok). Di pesantren terdapat leadership dan keteladanan yang diberikan oleh para kyai dan ustadz, serta ada juga kebebasan dan tanggung jawab yang diberikan dan dituntut pada santri. Di samping itu, pada pesantren ada kemandirian dari para santrinya dan tentu juga ada saling ketergantungan.

Memperhatikan hal tersebut seiring dengan kemajuan TIK, karena pesantren juga merupakan satu komunitas pembelajaran, pesantren dapat memanfaatkan TIK untuk memperluas cakupan dakwah dan pendidikan masyarakat. Di samping tentu saja dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan formalnya. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena dari sisi sumberdaya manusia jelas sudah lengkap. Dalam arti, ada nara sumber (kyai dan ustadz), ada santri yang biasa mandiri, ada media interaksi, ada sarana dan prasarana pendidikan, dan manajemen pesantren. Karena di dunia nyata pesantren secara umum sudah berjalan dengan baik dan teratur, oleh karena itu sangat mungkin membawa pesantren nyata ke pesantren maya atau pesantren elektronik.

D. Persiapan Pemanfaatan TIK di Pesantren

Memperhatikan uraian tersebut di atas, dalam upaya untuk memperluas pesantren (nyata) menuju pesantren maya atau e-pesantren yang perlu dipenuhi adalah (1) infrastruktur, (2) sumberdaya manusia, dan (3) bahan pembelajaran. Dari sisi infrastruktur, pemanfaatan TIK di pesantren memerlukan ketersediaan komputer, LCD proyektor, jaringan komputer, koneksi internet, daftar mata pelajaran dan isinya, homepage para kyai dan ustadz, dan e-library. Secara umum ketersediaan infrastruktur TIK di Indonesia memang masih kurang. Penetrasi komputer (PC) di Indonesia hanya sekitar 4%, bandingkan dengan Malaysia dan Australia yang mencapai sekitar 80% (Koran Tempo, 18 Februari 2008). Sementara itu menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sampai Desember 2007 pelanggan internet di Indonesia mencapai 2 juta dan pemakai internet mencapai 25 juta orang.

Kondisi tersebut tentu tidak boleh melemahkan semangat kita untuk maju, sebab ke depan, khususnya dari sisi penyediaan teknologi informasi sebenarnya akan semakin murah. Oleh karena itu sangat dimungkinkan bahwa pesantren pun akan dapat memenuhi kebutuhan hardware (perangkat keras) di bidang teknologi informasi. Sedangkan dari sisi teknologi komunikasi (termasuk koneksi internet), di bandingkan negara lain, di Indonesia memang masih tergolong mahal. Untuk itulah kita sangat berharap adanya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah (dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika) yang dapat menurunkan biaya atau tarif koneksi internet, sehingga dapat meningkatkan lebih banyak lagi komputer yang dapat tersambung ke internet. Keberadaan warnet (warung internet) juga dapat dipandang sebagai dukungan infrastruktur yang dapat digunakan untuk memulai pelaksanaan e-pesantren. Untuk itulah sudah saatnya para perencana, pelaksana, dan pengelola pendidikan di pesantren berpikir dan bertindak melaksanakan e-pesantren di masing-masing lembaganya.

Persiapan sumber daya manusia (ustadz dan santri) untuk dapat memanfaatkan TIK adalah harus mensyaratkan ‘melek’ komputer. Tuntutan melek komputer (computer literacy) memang tidak seragam, bergantung peran dan tanggung jawabnya. Literasi komputer merupakan istilah yang sering digunakan untuk menerangkan pengetahuan dasar yang perlu diketahui orang awam (bukan “orang komputer”) mengenai komputer. Konsep literasi komputer lebih berkaitan dengan segi praktis penggunaan komputer, bukan perancangan dan pengembangan komputer itu sendiri (Sugilar, 2005). Sebagai istilah dalam pengembangan program pembelajaran, literasi komputer merujuk pada : (1) pengoperasian program aplikasi, (2) konteks sosial penggunaan komputer, (3) pemahaman tentang apa komputer dan bagaimana komputer bekerja, (4) sejarah komputer, dan (5) pengetahuan praktis terhadap paling tidak satu bahasa pemrograman tingkat tinggi. Literasi komputer juga dapat dipandang dari apa-apa yang telah dikerjakan seseorang dan keadaan seseorang yang berkaitan dengan komputer, yaitu : (1) lamanya telah menggunakan komputer, (2) penggunaan paket program komputer, (3) keikutsertaan dalam kursus komputer, (4) kepemilikan komputer di rumah, (5) keterampilan membuat program komputer, dan (6) keterlibatan dalam pekerjaan yang menggunakan komputer untuk penyelesaiannya.

Dalam menyikapi modernisasi hidup dan kehidupan sosial di masa mendatang, khususnya terkait dengan kemajuan TIK, pesantren harus mampu menyesuaikan derap langkahnya tanpa meninggalkan paradigma lama yang dianutnya. Pesantren di Indonesia yang mulai memanfaatkan TIK jumlahnya memang masih sedikit. Dari 15 ribu pesantren yang ada di Indonesia yang menguasai TIK jumlahnya kurang dari 10 persen (Republika, 25 Februari 2008). Walaupun dari sisi jumlah mungkin masih sedikit, tetapi hal ini menunjukkan bahwa di kalangan pesantren sudah mulai ada kesadaran untuk memanfaatkan TIK sebagai upaya untuk memperluas dan meningkatkan fungsi dakwah dan pendidikan.

Untuk meningkatkan jumlah pesantren yang melek TIK dapat dilakukan dengan inovasi dan pengembangan metode, konsep, acuan, atau juga bisa melalui kerjasama dengan berbagai pihak terkait. Dalam konteks kemajuan TIK, pesantren dapat memanfaatkannya sebagai (1) media pembelajaran dan dakwah, (2) pengembangan profesional para ustadz, dan (3) pengembangan sistem pengelolaan pesantren dan sumber belajar.

Bagi pesantren yang memiliki komputer, tetapi belum ada koneksi ke internet, bahan-bahan untuk mengembangkan e-pesantren dapat didownload dan dicopy terlebih dahulu dari tempat lain, misalnya, dapat di download dari warnet, universitas-universitas atau sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas internet. Selanjutnya, bahan-bahan tersebut dapat dipakai di pesantren, misalnya, untuk pengayaan informasi atau diskusi kelompok, dan sebagainya. Alternatif lain untuk pesantren yang memiliki komputer tetapi belum ada koneksi dengan internet adalah dengan memanfaatkan CD ROM yang memuat materi pelajaran yang banyak dijual bebas di pasaran.

Memperhatikan uraian tersebut, persyaratan terlaksananya e-pesantren, setidaknya ada tiga hal utama, yaitu: (1) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan komputer, (2) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh santri, misalnya CD-ROM dan/atau bahan cetak, dan (3) tersedianya dukungan layanan tutor, termasuk dari para kyai dan ustadz, yang dapat membantu para santri apabila mengalami kesulitan. Pemanfaatan TIK di pesantren memang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam pengelolaan. Walaupun demikian peran para kyai dan ustadz belum sepenuhnya dapat digantikan oleh teknologi. Ini berarti dalam implementasinya e-pesantren berperan sebagai suplemen. Salah satu yang jelas tidak bisa diganti oleh TIK adalah keteladanan para kyai dan ustadz. Di sisi lain pada e-pesantren, para ustadz dituntut seolah-olah berperan seperti penulis skenario dan sutradara pada suatu permainan drama. Ia harus menyusun “plot-plot cerita” yang merupakan urutan tampilan materi pembelajaran atau kajian, sekaligus menentukan apa yang harus keluar atau tampil pada tiap-tiap plot cerita tersebut.

Memperhatikan beragamnya kondisi pesantren di Indonesia saat ini (ada yang sudah modern ada yang belum), tentu tingkat ketersediaan infrastruktur dan sumberdaya manusia juga berbeda. Oleh karena itu, tahapan pengembangan TIK di pesantren dapat dikelompokkan dalam fase emerging, applying, infusing, dan transforming (Majumdar, 2005). Emerging adalah tahap di mana semua insan pendidikan menjadi memiliki perhatian terhadap TIK. Hal ini ditandai dengan kebutuhan akan dukungan terhadap peningkatan performa kerja. Applying adalah tahapan di mana para insan pendidikan mulai belajar menggunakan TIK. Pada tahapan ini kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tradisional dengan TIK mulai dirasakan sebagai suatu kebutuhan. Infusing adalah tahap di mana para insan pendidikan mulai mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan TIK. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan menyediakan fasilitas belajar berbasis TIK bagi para peserta didik Akhirnya tahap transforming adalah secara spesifik dapat menggunakan TIK untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran dan pengelolaan pendidikan.

Penggunaan TIK di pesantren akan mempunyai dampak ikutan yang luas. Jika seorang ustadz memanfaatkan TIK dalam pembelajarannya, hal ini akan berdampak bahwa mau tidak mau para santri juga harus dapat menggunakan TIK. Jika santri tersebut adalah calon ustadz, maka ia akan dapat menggunakan TIK untuk pembelajaran pada para santrinya. Hal ini selanjutnya akan merangsang para santri belajar dan menggunakan TIK. Dengan demikian cepat atau lambat, masyarakat Indonesia menjadi computer literacy. Oleh karena itu, pesantren yang akan menghasilkan calon-calon ustadz sudah seharusnya memberikan ketrampilan TIK untuk pembelajaran bagi para santrinya.

E. Penutup

Kekuatan TIK telah mendorong terjadinya perubahan dalam pembelajaran. Lembaga-lembaga di luar pesantren, baik secara sendiri-sendiri atau dengan dukungan kerjasama/pemerintah telah berusaha memajukan proses pembelajarannya dengan memanfaatkan TIK. Ini berarti bahwa konsep virtual college segera mereka masuki. Dengan demikian mereka dapat menjangkau sasaran tanpa batas-batas kewilayahan. Ini menyebabkan pendidikan akan tampak semakin murah dan menarik.

Pemanfaatan TIK pada pembelajaran memberikan banyak keuntungan, baik bagi santri, ustadz, maupun pengelola pesantren. Pemanfaatan TIK dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran dan pengelolaan pesantren. Di samping itu, dengan TIK akan memperluas dan meningkatkan dakwah syiar islam dan pendidikan masyarakat.

Walaupun infrastruktur untuk menyelenggarakan e-pesantren belum memadai, sudah sewajarnya konsep e-pesantren diperkenalkan kepada para santri. Hal ini dilakukan supaya para santri tidak ketinggalan dalam derasnya arus perkembangan TIK yang sangat cepat. Tidak bijaksana jika menunggu sampai infrastruktur untuk penerapan e-pesantren memadai. Jika pilihan ini yang ditempuh, dunia pesantren akan tertinggal jauh di belakang dibandingkan dengan lembaga pendidikan lain.

F. Daftar Pustaka

Djunaedi, A., 2003, “Beberapa Pemikiran Penerapan E-Government dalam Pemerintahan Daerah di Indonesia” makalah dalam Seminar Nasional E-government di FMIPA UGM Yogyakarta tanggal 30 Oktober 2003.

Koran, J.K.C., 2003, Aplikasi E-Learning dalam Pengajaran dan Pembelajaran di Sekolah-sekolah Malaysia : Cadangan Pelaksanaan pada Senario Masa Kini.

Koran Tempo, 18 Januari 2008.

Majumdar, S. (ed), 2005, Regional Guidelines for Teacher Development for Pedagogy Technology Integeration, Bangkok : UNESCO.

Pribadi, P.A., dan Rosita, T., 2003, Prospek Komputer sebagai Media Pembelajaran Interaktif dalam Sistem Pendidikan Jarak Jauh di Indonesia. On line : http://202.159.18.43/jsi/82benny.htm tanggal 10 Februari 2003.

Republika, 25 Februari 2008

Sugilar, 2005, Hubungan Literasi Komputer Dengan Sikap Terhadap Pembelajaran Berbantuan Komputer, 2005, On line : http: //www1.bpkpenabur.or.id/jelajah/02 /sosial.htm tanggal 20 Februari 2005.

Yuk, V., 2006, “ICT in Instruction (e-learning) & The Power of ICT “ paper in Training Programme ICT for Quality Improvement of Graduate Study” organized by SEAMOLEC, ITB, DGHE MONE, Bandung, 23 – 27 June.



Catatan :

Naskah ini pernah disampaikan pada acara Diskusi Ahli pada Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi di Pesantren”, Pacitan 3 April 2008, diselenggarakan oleh Depkominfo.